BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak masa transisi dari era orde baru ke era reformasi bahkan hingga sampai saat ini, perbincangan pelanggaran hak asasi manusia masih selalu mewarnai dinamika politik maupun hukum di negara Indonesia. Teriakan akan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan paling lantang dipekikkan, sehingga ungkapan-ungkapan moral modern harus dipahami sebagai rangkaian fragmen-fragmen pergulatan masa lalu, yang masih bertahan, namun tidak ada perekat sosial yang sanggup memberinya kekuatan. Jeritan atas pelanggaran hak asasi manusia dan hujatan atas ketidakadilan muncul dalam serpihan-serpihan tersebut.1
Perlunya perlindungan akan hak asasi manusia, kesejahteraan, transparansi dan kontrol sosial, berarti segala tindakan penguasa harus didasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka. Hal ini dimaksudkan agar membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang.2
Sehubungan dengan hal di atas, patut disyukuri bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia. Dalam konteks penegakan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia tercermin pada tata cara penegakan hukum yang adil bagi pencari keadilan melalui mekanisme peradilan pidana, yaitu dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Bambang Poernomo3 dalam bukunya “Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana”, hukum acara pidana adalah pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana. Di bagian lain, Van Bemmelen berpendapat bahwa ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adnya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.4.
Adapun Moeljatno mengkonstruksikan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil yaitu hukum yang mengatur tata cara negara mencari pelaku kejahatan dan menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan atau kenakan kepada si pembuat (si pelanggar) melalui mekanisme peradilan pidana. Sependapat dengan itu, van Hattum mengatakan hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstark itu harus diberlakukan secara nyata.5
Dengan demikian, dari beberapa pendapat pakar hukum di atas, dapat diketahui dan dipahami bahwa kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merupakan hukum pidana formil yang mengatur tata cara pelaksanaan penegakan hukum dalam peradilan pidana baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yakni :
Hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan, dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi; dengan kata lain, hukum acara pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara (Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim Pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran.6.
Hukum Acara Pidana atau KUHAP, pada prinsipnya menempatkan kedudukan hak asasi manusia pada posisi yang strategis. Dengan adanya KUHAP, maka setiap tindakan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum harus berpedoman pada KUHAP agar tidak terjadi pelanggaran hukum. Sebab, pada hakikatnya, penegakan hak asasi manusia merupakan suatu upaya untuk berfungsinya norma hukum dalam bentuk perundang- undangan sebagai pedoman, agar dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tercipta hubungan yang harmonis antara warga negara dengan warga negara, dan warga negara dengan pemerintah. Dengan itu, penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Secara konstitusional, sistem hukum Indonesia menganut serta memegang teguh asas legalitas. Sistem ini menuntut kepada setiap warga negara termasuk kepada aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan hak, kewenangan dan kebebasannya wajib tunduk pada ketentuan tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut :/p>
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan batas-batas yang diberikan dalam undang-undang, tidak saja melahirkan kepastian hukum, melainkan juga menuumbuhkan kesadaran hukum masyarakat, sehingga individu-individu masyarakat memiliki kepercayaan bahwa mereka benar-benar merasa terjamin tidak akan disentuh oleh mekanisme hukum pidana termasuk tindakan penahanan tanpa landasan hukum tertulis yang telah ada dahulu. Di samping itu, dasar yang jelas-jelas dibenarkan oleh undang-undang (legal principle).7
Menyangkut tindakan penahanan tersangka atau penahanan terdakwa oleh aparat penegak hukum, pada prinsipnya telah diatur dan ditetapkan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Perintah penahanan atau penetapan penahanan dilakukan terhadap tersangka dan/atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup dan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, dengan tujuan untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara pidana yang sedang berjalan.
Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang pada intinya menentukan syarat penahanan dengan kalimat “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana; frasa “kekhawatiran” berarti suatu hal yang ditimbulkan oleh suatu keadaan nyata yang dapat dinilai oleh orang lain. Keadaan yang dimaksud harus dapat dinilai oleh orang lain, seperti misalnya : sering mangkir secara tidak patut atas panggilan pemeriksaan, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, dan tidak memberikan jaminan orang atau jaminan uang.
Tegasnya, “kekhawatiran” aparat penegak hukum itu harus ditimbulkan oleh “adanya keadaan nyata atau situasi nyata”, dan penilaian itu tidak boleh bersifat spekulasi/prediksi atau penilaian yang bersifat tendensius, karena keadaan nyata yang dimaksud itu, harus dapat diuji oleh orang lain selain dari aparat penegak hukum. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi dalam penahanan, maka hal tersebut tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, penahanan yang demikian sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh negara dan dijamin oleh hukum yang berlaku. Suatu negara hukum harus menjamin dan memberikan perlindungan hak asasi manusia, dengan membatasi segala tindakan melalui hukum (undang- undang).
Namun, pada kenyataannya, praktik penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap tersangka dan/atau terdakwa justru dilakukan menyimpang dari ketentuan tertulis yang ditetapkan dalam KUHAP sebagai hukum pidana formil di Indonesia. Akibatnya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan tersangka dan/atau terdakwa di Indonesia.
Seperti halnya yang dilaporkan oleh MR. P. Kooijmans, spesial repporteur yang ditunjuk oleh Commission of Human Rihgts (Komisi Hak Asasi Manusia PBB) untuk mempelajari tuduhan terhadap Indonesia tentang terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Laporan tersebut antara lain : pelaksanaan KUHAP sudah maksimal, tetapi praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia (torture) tetap terjadi.8
Pada bagian lain, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kemitraan Partnership pada tahun 2011 tentang penegakan hukum dalam peradilan pidana di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan yaitu praktik pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk penyiksaan di Indonesia adalah terlarang (illegal), tapi kenyataannya meluas, sistematis, dan melembaga, sehingga masih membutuhkan kerja keras kita semua untuk memberantasnya.9
Demikian pula halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tahun 2012 menemukan bahwa aparat Kepolisian secara konsisten menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk penyiksaan pada proses penangkapan, pemeriksaan, maupun penahanan.10
Merujuk pada laporan MR.P Kooijmans yang mengungkapkan pelaksanaan KUHAP di Indonesia sudah maksimal, namum praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia (torture) tetap terjadi, ini disebabkan oleh karena penahanan tersangka dan/atau terdakwa dilakukan dengan alasan- alasan yang tidak terdapat dalam KUHAP. Dengan kata lain, penahanan tersebut dilakukan dengan cara adanya kekeliruan (kesengajaan) penafsiran kalimat dan maksud dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), terutama terhadap syarat penahanan termasuk objek penahanan, yaitu : kalimat yang menyebutkan “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” ditafsirkan menjadi “dalam hal adanya kekhawatiran” atau “karena dikhawatirkan”.
Kekeliruan (kesengajaan) penafsiran yang demikian, hampir senada dengan teori kebohongan yang diintroduksi oleh Joseph Goebbels yang merupakan seorang filsuf Jerman pada zaman Hitler berkuasa di Jerman, mengatakan bahwa “kebohongan yang sempurna dengan mempelintir sedikit saja dari undang-undang”.
Selain kekeliruan penafsiran di atas, tindakan penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa juga dilakukan dengan alasan-alasan lain berupa analogis seperti : karena alasan sosiologis (mendapat sorotan dari masyarakat), kemudian alasan bahwa penahanan adalah hak prerogatif aparat penegak hukum, seolah-olah penahanan tersangka dan/atau terdakwa menjadi hak istimewa aparatur penegak hukum, dan mereka (aparatur penegak hukum) seolah-oleh dengan bebas berhak menentukan siapa yang ditahan dan siapa yang tidak ditahan, siapa yang dikhawatirkan dan siapa yang tidak dikhawatirkan.
Akibatnya, penahanan semakin tidak sesuai dengan yang dikehendaki undang-undang hukum acara pidana (inkonsistensi), dan terlihat bersifat pemidanaan sementara, atau bisa dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan atau penekanan secara psikologi (pressure psiologis) terhadap tersangka dan/atau terdakwa untuk tujuan tertentu, seperti yang dilakukan terhadap Andro CS, yang ditahan selama dua tahun tujuh bulan dalam tuduhan pembunuhan ternyata putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan Andro CS bukan pelaku kejahatan yang dituduhkan dan harus bebas.11
Kemudian, kasus yang dialami oleh Karen Agustiawan (mantan Direktur Pertamina) yang sudah ditahan kurang lebih 16 (enam belas) bulan dalam kasus dugaan korupsi.12 Sama halnya dengan yang dialami Tajudin di Tangerang Selatan dalam kasus dugaan eksploitasi anak, yang juga divonis bebas oleh pengadilan.13
Keadaan demikian, telah mempertontonkan pengingkaran atas asas legalitas yang menjadi titik sentral baik dalam hukum pidana materill maupun formil. Pengingkaran atau penyimpangan terhadap asas legalitas sebagai asas tertinggi dalam hukum pidana, dikatakan Teguh Prasetyo adalah memenuhi unsur sifat melawan hukum pidana formil. Karena perbuatan melawan hukum formil, yaitu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, sandarannya adalah hukum yang tertulis.14
Adapun Sidharta berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum dalam lapangan hukum pidana mengarah ke pemaknaan yang menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan berlaku sebelum perbuatan dilakukan, sehingga pelanggaran terhadap hukum formil adalah pelanggaran serius terhadap asas legalitas.15
Diakui bahwa KUHAP telah memberikan kewenangan-kewenagan hukum kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan penahanan, dan hal ini merupakan sumber kewenangan dan kekuasaan bagi berbagai pihak yang terlibat dalam proses ini (Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat Hukum).16 Namun, jika wewenang demikian itu pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis di dalamnya (KUHAP), maka tindakan itu merupakan perbuatan hukum pidana formal. Dengan demikian pula, apabila tindakan aparatur penegak hukum dilakukan secara melawan hukum, baik disengaja maupun karena kelalaian, dan berakibat mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagaimana pula, tindakan penahanan yang dilakukan aparatur penegak hukum terhadap tersangka dan/atau terdakwa, yang selama ini dipraktikkan dengan kekeliruan (kesengejaan) penafsiran kalimat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai alasan penahanan, dipastikan akan berakibat menimbulkan penderitaan yang hebat bagi generasi bangsa, dan dapat merusak cita cita luhur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini pula berimplikasi pada pelaksanaan penegakan hukum dalam mekanisme sistem peradilan pidana di Indonesia yang tidak berkepastian hukum dan inkonsistensi.
Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk dikaji dan diteliti terkait dengan permasalahan-permasalahan mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ditinjau dari hak asasi manusia. Untuk itu, sebagai pendukung dalam penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, antara lain :
1) Penelitian pertama dilakukan oleh I Nyoman Arnita, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Penahanan Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2013).
Dalam penelitiannya, I Nyoman Arnita pada intinya mengkritisi soal tindakan kekerasan pada saat interogasi, dan diskriminasi terhadap tahanan soal perbedaan usia, yang terjadi pada peradilan pidana tingkat penyidikan. Meskipun sekilas I Nyoman Arnita mengharapkan supaya Tersangka yang kooperatif tidak ditahan, namun pada prinsipnya, I Nyoman sepakat bahwa syarat objektif penahanan adalah Ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.17
2) Penelitian Kedua dilakukan oleh Eka Risky Rasdiana, dengan judul “Penerapan Hukum Pembuktian Pada Perkara Pidana Pada Tahap Penyelidikan dan Penyidikan” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018).
Pada penelitian kedua ini, hasil penelitian menyatakan bahwa pada pokoknya menegaskan suatu gagasan yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang pertama yang dilakukan I Nyoman Arnita. Dalam penelitiannya ini, Eka Risky Rasdiana berpendapat bahwa hakim pra peradilan menguji, apakah penahanan yang dilakukan penyidik telah memenuhi prosedur yakni : syarat objektif PAsal 21 ayat (4) KUHAP, sedangkan syarat subjektif : apakah penyidik sudah menjelaskan tentang apa yang dimaksud, akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbuatan pidana.
Meskipun Eka Risky Rasdiana menggunakan rujukan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mengatur tentang bukti permulaan yang cukup pada tahap penyelidikan untuk membuktikan perbuatan itu adalah tindak pidana, minimal harus terdapat 2 (dua) alat Bukti. Dua alat bukti di sini adalah alat bukti yang memiliki kualitas hukum pembuktian yang primer atau menentukan. Dan laporan polisi (LP) atau pengaduan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Namun demikian gagasan ini tidak mengurangi masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan. Karena pokok masalah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan adalah disebabkan oleh adanya kekeliruan mengartikan syarat subjektif dan syarat objektif terkait dengan penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.18
3) Penelitian Ketiga dilakukan oleh Paramita Edward, dengan judul “Kewenangan Pejabat Penyidik Kepolisian Dalam Melakukan Penahanan Berdasarkan Asas Diskresi” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pakuan, Bogor, 2019).
Dalam penelitian ketiga ini, Paramita Edward pada intinya membenarkan bahwa tata cara pelaksanaan penahanan oleh aparatur penegak selama ini sudah sesuai dan sejalan dengan KUHAP yaitu syarat subjektif Pasal 21 ayat (1) dan syarat Objektif Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Untuk itu, Paramita Edward menghendaki adanya perubahan syarat penahanan yang diatur dalam KUHAP atau adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mampu membatasi tindakan penyidik saat melakukan penahanan terhadap tersangka. Padahal, yang kita hendaki adalah aparatur penegak hukum termasuk penyidik, dapat dengan bebas melakukan tugas dan kewenagannya termasuk dalam tindakan penahanan, hanya saja pelaksanaan kewenangan itu, harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada.19
4) Penelitian Keempat dilakukan oleh Christovel F. Panggey, dengan judul “Analisis Hukum Acara Pidana Terhadap Pertimbangan Syarat Subjektif Oleh Penyidik Sebagai Dasar Penahanan Dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP” (Jurnal Lex Crimen. Vol.VII/No. 2/April/2018).
Penelitian keempat ini mengemukakan beberapa pendapat, yaitu : pertama, syarat objektif penahanan adalah Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan syarat subjektif adalah Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Kedua, dikatakan syarat subjektif PAsal 21 ayat (1) KUHAP merupakan wilayah abu-abu, tidak jelas batasannya. Ketiga, syarat subjektif sepenuhnya bergantung pada penilaian pejabat yang berwenang dan dilakukan cukup dengan adanya kekhawatiran penyidik (penegak hukum). Pendapat seperti ini sangat bertentangan dengan KUHAP, sebab syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam PAsal 21 ayat (1) KUHAP sangat tegas, jelas, objektif dan dapat dinilai oleh orang lain, misalnya : adanya keadaan yang dapat menimbulkan kekahwatiran bukan karena dikhawatirkan.20
5) Penelitian kelima dilakukan oleh Berlian Simarmata, dengan Judul “Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Penahanan Menurut KUHAP dan Konsep RUU KUHAP” (Mimbar Hukum, 2011).
Pada penelitian kelima ini, pada pokoknya Berlian Simarmata menyimpulkan bahwa syarat subjektif yang didasarkan kepada “adanya kekhawatiran penegak hukum bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana, dan/atau melarikan diri”. Kesalahan mendasar yang menyebabkan tindakan penahanan tersangka dan/atau terdakwa terjadi sesuka hati dan melanggar hak asasi manusia adalah karena adanya kesalahan pemahaman pemikiran yaitu bahwa Pasal 21 ayat (1) dipahami sebagai syarat hak subjektif penegak hukum yang sangat subjektif. Padahal Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus jelas-jelas subjektif dan juga objektif.
Dari uraian beberapa penelitian pembanding di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pemahaman dan pemikiran antara penulis dengan peneliti terdahulu terkait dengan syarat subjektif dan syarat objektif dalam penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Oleh karena itu penulis memiliki gagasan khusus dan khas terhadap syarat dan objek penahanan yang diatur dalam KUHAP, yaitu : Pertama, penegak hukum yang sering melanggar hak asasi manusia tersangka dan/atau terdakwa yaitu penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim pemeriksa, sehingga yang dikritisi adalah seluruh penegak hukum. Kedua, Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah syarat subjektif dan syarat objektif yang sangat objektif. Ketiga, Pasal 21 ayat (4) adalah objek penahanan bukan syarat objektif penahanan. Keempat, Pasal 20 ayat (1), Ayat (2), dan ayat (3) adalah subjek (penahan).
Perbedaan pemahaman dan pemikiran yang demikian merupakan permasalahan yang harus dipecahkan. Oleh karenanya dalam penelitian ini penulis menitikberatkan penelitian terhadap permasalahan yang terjadi berkenaan dengan mekanisme penahanan yang ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, terutama terkait dengan syarat subjektif dan syarat objektif penahanan. Hal ini pula yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa penelitian terdahulu di atas.
Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih konkrit dengan menuangkannya ke dalam penulisan tesis ini yang berjudul “ Mekanisme Penahanan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menarik beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah guna membatasi topik pembahasan atas permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini, yaitu :
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis yang akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya berkenaan dengan tindak pidana narkotika dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana narkotika.
1. Aspek Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah sumbangan pengetahuan dalam ilmu hukum pidana, khususnya bidang kajian hukum acara pidana mengenai pelaksanaan tindakan penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa yang didasari oleh KUHAP agar penegakan hukum dapat dilakukan secara benar dan fair, berperikemanusiaan dan berke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Aspek Praktis
Secara praktis, bagi penulis penelitian ini dapat mengeksplorasi ilmu yang yang diperoleh selama masa perkuliahan dalam mengkaji dan meneliti lebih mendalam sehubungan dengan topik penelitian ini yaitu mengenai penerapan asas kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum , yakni Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dalam menyelenggarakan penegakan hukum yang benar, dan juga diharapkan dapat sebagai masukan dalam rangka memperbaiki citra aparat dan lembaga penegak hukum tersebut. Dengan itu, dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, guna memberantas kejahatan dalam profesi, khususnyanya dalam tindakan penahanan, dengan harapan perbaikan kinerja penyidik, jaksa penuntut umum dan para hakim menjadi langkah awal dalam upaya menegakkan hak asasi manusia di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Perlindungan hukum atas hak-hak warga negara merupakan refleksi dan konsekuensi Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat). Selain itu, Negara hukum mencerminkan prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rumusan penjelasan Pasal 1 butir 3, tegas menyebutkan “bahwa kekuasaan Negara Indonesia dijalankan melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Semua aspek kehidupan sudah diatur melalui hukum yang sah sehingga hal ini mampu mencegah konflik yang terjadi di antara warga negara”. Jika dicermati, rumusan tersebut mendeskripsikan dan menghendaki suatu kepastian hukum, yang kemudian dipertegas di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Amanat dari Pasal 28D ayat (1) jelas dan tegas, bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dari Negara melalui hukum yang sah sebagai bentuk kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud ialah pelaksanaan hukum harus tercermin dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum yang kemudian dilaksanakan secara profesional dan konsisten, serta mengedepankan prinsip persamaan setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) sehingga pelaksanaan yang demikian menjamin perlindungan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat guna menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karenanya sebagai negara hukum, penegakan hukum di Indonesia haruslah dilakukan dengan suatu proses hukum yang benar (due process of law) dan tunduk pada batasan mekanisme hukum yang berlaku. Misalnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Pidana Khusus yang mengatur mekanisme bagi para penegak hukum dalam menjalankan dan menegakkan hukum pidana materiil.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia di dalamnya terkandung asas atau prinsip legalitas. Prinsip ini tegas disebutkan dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada huruf a yang berbunyi “bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya”. Sebagai hukum acara yang berlandaskan asas legalitas, pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Dengan kata lain, setiap tindakan penegakan hukum harus :21
Oleh karenanya setiap orang, baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan :
Prinsip the rule of law dan supremasi hukum dimaksudkan untuk menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum tunduk pada ketentuan konstitusi, undang-undang sehingga memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Artinya, prinsip tersebut dijadikan parameter untuk mengukur segala tindakan penegak hukum terhadap masyarakat yang sedang dihadapkan dengan proses hukum, sehingga dengan demikian masyarakat memperoleh jaminan dan perlindungan hak-haknya atas proses hukum yang dihadapinya. Proses hukum yang dilaksanakan oleh para penegak hukum juga dibatasi oleh undang-undang. Jika tidak, hal demikian akan berimplikasi pada kepercayaan setiap orang terhadap hukum itu sendiri, terlebih ketika seseorang sedang dihadapkan dengan proses hukum. Hukum akan kehilangan arti dan makna ketika dalam proses penegakan hukum itu melanggar hak asasi manusia. Akibatnya hukum bukan lagi menjadi sarana yang menjamin hak dan kepentingan masyarakat tetapi hukum digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para penegak hukum.
Aliran positivisme ialah aliran yang menjadi penyumbang pemikiran pada ajaran kepastian hukum, yang mendasarkan pemikirannya pada ajaran yuridis-dogmatik. Di dunia hukum, para penganut aliran positivisme cenderung memandang hukum hanya sebagai suatu yang otonom dan mandiri. Hal demikian tak lain karena bagi penganut aliran ini hukum hanya dilihat sebagai suatu kumpulan aturan. Tujuannya hanya sekedar menjamin tercapainya kepastian hukum. Dengan demikian, bagi penganut pemikiran positivisme ini, kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum hanya dengan membuat suatu aturan yang bersifat umum dan sekaligus juga sebagai bukti bahwa hukum itu tidak untuk keadilan dan kemanfaatan melainkan semata- mata hanya untuk kepastian.
Sebagai penganut positivisme hukum, dalam penegakan hukum di Indonesia segala tindakan para penegak hukum berpedoman pada undang- undang acara pidana sehingga mereka hanya terpaku pada apa yang tertulis dalam hukum acara itu. Positivisme telah melahirkan hukum dalam deskripsi matematika, menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan apa yang tertulis dalam undang-undang, mengkristal di posisi binernya lalu pembaca harus memahami hal itu dan tidak dibolehkan berpikir yang lain.22 Sementara itu, aparat penegak hukum menetapkan penahanan terhadapa tersangka dan/atau terdakwa dengan menafsir rumusan/teks undang-undang secara keliru (sengaja). Oleh karena itu, penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum, sadar atau tidak sadar bahwa telah melukai hak asasi manusia.
Dengan demikian, keadaan semacam itu menunjukkan adanya permasalahan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum, khususnya dalam hak pelaksanaan undang-undang hukum acara pidana. Oleh karena itu, untuk mengkaji dan membahas permasalahan tersebut, maka penulis menggunakan beberapa teori yang dikenal dalam ilmu hukum yang relevan untuk membahas dan menganalisis permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Beberapa teori yang dipergunakan, antara lain :
1. Teori Kepastian Hukum
Suatu perihal (keadaan), ketetapan, dan ketentuan yang pasti biasa disebut sebagai kepastian. Berkaitan dengan kepastian, secara hakiki, hukum harus mengandung perihal yang pasti dan adil. Oleh karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti, maka hukum dapat menjalankan fungsinya. Dengan demikian kepastian hukum hanya bisa dijawab secara normatif.23
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama norma hukum tertulis (undang-undang). Konsep kepastian hukum ditujukan untuk memberikan perlindungan pada individu terhadap tindakan kesewenang-wenangan individu lainnya. Dengan demikian, adanya kepastian hukum memberikan kejelasan, tidak menimbulkan pertentangan maupun multitafsir, serta dapat dilaksanakan dengan keterbukaan, sehingga setiap individu dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum.
Menurut Fernando Manullang, kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga, masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai suatu kepastian hukum, yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikan pada hukum positif.24.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.
Dengan demikian, penggunaan teori kepastian hukum sebagaimana dikemukakan Fernando Manullang, adalah sebagai pisau analisis dalam menganalisis persoalan pelanggaran hukum atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kita alami di Indonesia berpusat pada titik pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga mengingat sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), di mana seluruh hak dan kewajiban warga negara telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif), dan disusun secara sistematis secara demokratis (kodifikasi) dengan tujuan untuk menjaga kepentingan tiap-tiap orang masyarakat agar kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu oleh orang lain.
Kendatipun peraturan perundang-undangan yang ada belum tentu memberikan keadilan yang absolut, namun harus ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal itu dilakukan supaya dengan peraturan perundang-undangan yang ada memungkinkan seseorang termasuk aparatur penegak hukum sebagai pengendali hukum di Indonesia, dapat dengan bebas melakukan hak dan kewajibannya tanpa mengganggu hak dan kewajiban orang lain, yang bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat sesuai dengan tujuan hukum.
Dengan menggunakan kepastian hukum ini, dapat menuntun penulis dalam menganalisis dan membahas permasalahan kepastian hukum atas penahanan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang didasarkan pada KUHAP. Dengan demikian, dapat terhindar dari kerancuan dalam memahami pelaksanaan hukum acara pidana dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, dan pada akhirnya dapat membantu dalam membangun konstruksi beripikir dalam memahami penahanan dalam penegakan hukum tersebut.
2. Teori Hak Asasi Manusia
Menurut John Locke, substansi utama hak asasi manusia adalah kebebasan, yang merupakan sisi penting bagi hukum pada umumnya dan bagi hak asasi manusia pada khususnya. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi, karena tanpa kebebasan, manusia akan kehilangan harkat dan kemanusiaannya.25 Di samping kebebasan yang bersifat hak asasi, terdapat pula kebebasan yang bersifat hukum positif, atau hak-hak kewarganegaraan atau yang lebih dikenal dengan kebebasan-kebebasan politik.26
Dalam hubungannya dengan hak-hak tersebut, Locke mengungkapkan27 bahwa masyarakat dalam suatu negara tidak akan mencapai tujuannya untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, tanpa adanya keteraturan dan organisasi, tanpa wewenang dan wibawa perundang-undangan dengan sanksi-sanksi yang tegas untuk pelaksanaan undang-undang. Fungsi undang-undang dan peraturan di sini adalah untuk membatasi kebebasan bertindak dan bergerak, sejauh kebebasan tersebut tampil keluar dalam perbuatan-perbuatan lahiriah.
Dari sudut kepentingan pengaturan kebebasan masyarakat itu sendiri, masalah pengaturan melalui undang-undang, dalam hal ini pada hakikatnya berfungsi mengarahkan atau mengendalikan. Jadi, bukan suatu hambatan bagi kebebasan. Menurut John Locke berlakunya hukum positif bukan tanpa batas, karena hanya sejauh ada persetujuan dari orang yang bersangkutan hukum positif ini dapat diberlakukan.28 Maksudnya, bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasannya sendiri dan negara memiliki legitimasi untuk membatasi hak tersebut agar hak masing-masing individu terlindungi.
Penggunaan teori hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan John Locke di atas sebagai grand theory, karena hemat penulis, kebebasan setiap orang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dalam hal ini adalah KUHAP. Pengaturan pembatasan kebebasan setiap orang tersebut juga harus secara tegas dan eksplisit diatur dan tidak memberikan ruang untuk ditafsir sesuka hati. Artinya, penafsiran harus dapat dinalar secara logis dan dapat diukur.
Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan teori hak asasi manusia yang dikemukakan oleh John Locke dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis mekanisme penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal mana, masih banyak penahanan-penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini sangat menciderai hak asasi manusia tersangka dan/atau terdakwa.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dan didukung penelitian empiris. Pada prinsipnya penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang menitikberatkan pada doktrin- doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.29 Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji30 dalam bukunya berjudul “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”, penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pengertian demikian difokuskan pada bahan yang digunakan di dalam penelitiannya berupa bahan pustaka atau data sekunder.
Adapun penelitian empiris oleh Mukti Fajar ND dan Yulianto31 diartikan sebagai penelitian hukum yang mengkaji dan menganalisis tentang perilaku hukum individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan sumber data yang digunakannya berasal dari data primer.
Dengan demikian, penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini, pada dasarnya menggunakan bahan pustaka atau bahan-bahan hukum lainnya (data sekunder) sebagai acuan dalam menganalisis dan membahas permasalahan hukum yang diteliti dan didukung dengan hasil wawancara sebagai data primer, sehingga penulisan tesis ini dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, hal mana menurut penulis penahanan yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan alasan subjektif maupun objektif telah menciderai hak asasi manusia, karena adanya kekeliruan (kesengajaan) penafsiran atas teks undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Untuk itu, dalam rangka menganalisis dan mengkaji permasalahan yang diteliti tersebut, guna memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti tersebut diperlukan metode pendekatan penelitian.32 Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach) serta didukung dengan pendekatan hasil wawancara para pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
Pendekatan undang-undang atau statute approach merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis ketentuan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undang lainnya yang berkaitan dengan mekanisme penahanan tersangka atau terdakwa.
Sementara, pendekatan kasus atau case approach merupakan pendekatan dengan melakukan kajian terhadap perkara tindak pidana yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan merujuk pada ratio decidendi atau reasoning yakni pertimbangan pengadilan untuk sampai pada putusan.33 Pendekatan ini digunakan oleh karena penulis menggunakan pendekatan terhadap putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna menganalisis dan memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti.
Adapun pendekatan konseptual atau conceptual approach adalah pendekatan yang dilakukan dengan bertitik tolak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum34 pidana. Oleh karena itu, pendekatan ini digunakan untuk mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum pidana, sehingga dapat menuntun penulis menemukan ide-ide sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti.
Sedangkan pendekatan wawancara adalah pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis dan mengkaji hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, seperti dengan pihak Mahkamah Agung, Kejaksaaan Agung, Kepolisian, dan Akademisi hukum serta praktisi hukum.
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tertier.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang berarti memiliki otoritas, terdiri dari perundang-undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.35 Sementara, bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum tidak dalam golongan dokumen-dokumen resmi, seperti publikasi tentang hukum, jurnal-jurnal, dan komentar- komentar atas putusan pengadilan.36
Adapun jenis dan sumber bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diinventarisasi dari bahan-bahan hukum sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder atau tulisan-tulisan yang dapat menjelaskan bahan hukum primer, terdiri dari : Buku-Buku Ilmiah tentang Teori dan Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Tentang Hak Asasi Tersangka atau Terdakwa, Buku Negara Hukum dan HAM, serta Buku tentang Hukum Acara Pidana Di Indonesia.
c) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum atau tulisan yang berkaitan dengan penulisan tesis yakni artikel, Jurnal, Tesis, Disertasi, kamus hukum, Surat Kabar atau Majalah baik cetak maupun elektronik (internet).
d) Bahan pendukung berupa hasil wawancara.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan pada penelitian dan penulisan tesis ini adalah Studi Kepustakaan dan Studi Dokumen serta didukung dengan wawancara. Studi Kepustakaan atau studi dokumen adalah suatu kegiatan dilakukan dengan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.37
Pengumpulan bahan-bahan hukum dengan studi kepustakaan dan studi dokumen juga dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginventrisasi aturan hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian), dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti.
Sedangkan wawancara adalah kegiatan tanya jawab yang dilakukan pada instansi penegak hukum, akademisi dan praktisi hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Informasi tersebut direkam yang kemudian dituangkan ke dalam tulisan.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum (interpratasi) dan metode konstruksi hukum. Teknik penafsiran menggunakan beberapa teknik penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, seperti penafsiran gramatikal, penafsiran historis, dan penafsiran resmi (otentik).
Di samping itu, teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini juga menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis yang menguraikan bahan hukum penelitian menjadi elemen-elemen melalui rangkaian kata-kata atau pernyataan secara deskriptif. Analisis kualitatif dikonstruksikan berdasarkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori, makna dan substansinya dari berbagai literatur.38
Dalam hal ini, Penulis mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan mengacu pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin, teori, dan asas-asas yang dikenal dalam ilmu hukum serta didukung hasil wawancara, yang bertujuan mencari jawaban atas masalah yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini.
Dalam melakukan Analisis kualitatif ini, dilakukan dengan mengidentifikasi dan menemukan pola atau tema yang ada dalam bahan hukum tersebut, sesuai dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Oleh sebab bahan hukum penelitian yang digunakan pada dasarnya adalah berupa peraturan perundang-undangan dan putusan- putusan pengadilan yang kemudian didukung hasil wawancara, maka identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode deduksi, yang bertolak dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor, dan dari kedua premis inilah dapat ditarik suatu kesimpulan atau konklusi,39 untuk mendeskripsikan secara jelas jawaban dari permasalahan yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN TEORI HAK ASASI MANUSIA TERHADAP MEKANISME PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
A. Asas Legalitas (Legality Principle)
1. Asas Legalitas Sebagai Titik Sentral Dalam Hukum Pidana
Dalam tataran ilmu hukum, khususnya hukum pidana, dikenal asas legalitas (legality principle), yang dalam bahasa latin dikatakan “nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali” yang berarti tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali terlebih dahulu telah ada undang- undang yang mengatur perbuatan tersebut. Dalam sejarah, munculnya asas ini difungsikan sebagai pembatas tindakan-tindakan penguasa, yang lahir sebagai reaksi masyarakat terhadap kekuasaan mutlak dari raja-raja pada zaman Ancien Regime.
Berdasarkan sejarah itulah timbul pemikiran-pemikiran, bahwa suatu perbuatan dapat dihukum apabila tentang perbuatan tersebut telah ditentukan oleh Hukum (dalam undang-undang/ wet) terlebih dahulu mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar penduduk lebih dahulu mengetahui dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut.43 Menurut Moeljatno, mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang, lebih dahulu telah mengetahui hukuman apa yang akan dijatuhkan/dikenakan kepadanya jika nanti melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri.44
Klaas Rozemond juga memberikan pandangannya mengenai dasar pemikiran asas legalitas. Menurutnya, adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dan legitimasi demokratis (demokratische) maka dalam penjatuhan sanksi/hukuman terhadap seseorang atas pelanggaran, harus berdasarkan undang-undang baru orang tersebut dapat ditangkap, ditahan, digeledah, disita barangnya, disadap, dan diadili.45 Pandangan demikian, sejalan dengan Cleiren dan Nijboer yang berpendapat bahwa hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, dan hanya undang-undang pula yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana itu dapat diterapkan.46
Atas dasar pendapat di atas itu pula, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana itu adalah hukum tertulis, dan tidak seorangpun dapat dihukum berdasarkan hukum kebiasaan. Hal demikian juga merefleksikan makna asas legalitas dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana harus terlebih dahulum diatur dalam undang-undang, dan aturan itu tidak berlaku surut serta tidak boleh ber-analogi.
Asas legalitas ialah adanya suatu kepastian hukum. Menurut Fernando Manullang47 kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyi dalam teks undang-undang, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum, yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia di dalamnya terkandung asas atau prinsip legalitas. Prinsip ini tegas disebutkan dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada huruf a yang berbunyi “bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Sehubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Andi Sofyan48 mengungkapkan bahwa seluruh rumusan Pasal-Pasal dalam KUHAP, tidak ada satupun rumusan pasal-pasalnya yang memberikan kemungkinan atau mengizinkan orang untuk memberikan arti atau penafsiran yang lain kepada perkataan-perkataan yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam rumusan pasal-pasalnya. Jadi, segala perkataan-perkataan yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal KUHAP itu selalu ditafsirkan sesuai arti yang telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang, sehingga dalam tindakan menahan manusia semestinya harus sesuai menurut ketentuan tertulis di dalam KUHAP.
Sebagai hukum acara yang berlandaskan asas legalitas, pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Dengan kata lain, setiap tindakan penegakan hukum harus :49
Oleh karenanya setiap orang, baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan :
Prinsip the rule of law dan supremasi hukum dimaksudkan untuk menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum tunduk pada ketentuan konstitusi dan undang-undang. Artinya, prinsip tersebut dijadikan parameter untuk mengukur segala tindakan penegak hukum terhadap masyarakat yang sedang dihadapkan dengan proses hukum, sehingga dengan demikian masyarakat memperoleh jaminan dan perlindungan hak-haknya atas proses hukum yang dihadapinya. Proses hukum yang dilaksanakan oleh para penegak hukum juga dibatasi oleh undang-undang. Jika tidak, hal demikian akan berimplikasi pada kepercayaan setiap orang terhadap hukum itu sendiri, terlebih ketika seseorang sedang dihadapkan dengan proses hukum. Hukum akan kehilangan arti dan makna ketika dalam proses penegakan hukum itu melanggar hak asasi manusia. Akibatnya hukum bukan lagi menjadi sarana yang menjamin hak dan kepentingan masyarakat tetapi hukum digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para penegak hukum.
2. Pengingkaran Terhadap Asas Legalitas Sebagai Perbuatan Melawan Hukum
Dalam tataran ilmu hukum, baik ilmu hukum pidana maupun ilmu hukum perdata dikenal istilah “perbuatan melawan hukum”. Dalam konteks ilmu hukum pidana, van Hamel mengartikan hukum pidana sebagai berikut :
Semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan- larangan tersebut. Hukum pidana sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana formil dan hukum pidana materiil. Hukum Pidana materiil adalah aturan tertulis yang memuat tindakan- tindakan apa saja yang dilarang dan apa yang boleh dilakukan. Sementara hukum pidana formil adalah seperangkat aturan yang digunakan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana materiil.50
Sebagai negara hukum, Indonesia sangat memegang teguh asas legalitas sebagai asas tertinggi dalam sistem peradilan pidana. Moeljatno mengatakan asas legalitas mengandung tiga pengertian, antara lain :51
Setiap warga negara pada dasarnya berhak atas kebebasannya. Namun, dalam menjalankan hak dan kebebasananya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, sehingga perbuatan atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Di dalam kehidupan sehari-hari, istilah perbuatan melawan hukum sering kita dengar. Beberapa sarjana menyebut perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan abnormal dan kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti tidak ada perbuatan abnormal. Di dalam bahasa Belanda perbuatan melawan hukum disebut wederrechtelijk. Weder artinya bertentangan dengan, melawan. Sementara recht artinya hukum. Dengan demikian maka perbuatan melawan hukum berarti perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Dilihat dari pengertiannya, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan melawan hukum materiil. Sehubungan dengan bentuk perbuatan melawan hukum tersebut, Pompe merumuskan sebagai berikut:
Perbuatan melawan hukum materiil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum bukan bertentangan dengan undang- undang. Sementara perbuatan melawan hukum formil diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, artinya bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta.52
Di bagian lain, Roeslan Saleh53 berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum; pertama, karena menurut bahasa “bersifat melawan hukum” memang menunjuk ke jurusan “bertentangan dengan hukum”, kedua, sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti tanpa adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, tidak pula ada perbuatan pidana.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang diberikan para pakar di atas, maka dapat diketahui pula bahwa perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan tertulis dalam peraturan perundang- undangan merupakan perbuatan melawan hukum formil. Termasuk pula, setiap tindakan aparat penegak hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum acara pidana, maka perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum secara formil.
B. Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia
Pemahaman terhadap pengertian hak asasi manusia umumnya senantiasa dipahami sebagai hak kodrati yang dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Sementara itu, jika ditinjau dari berbagai literatur terdapat beberapa istilah dan terjemahan terkait hak asasi manusia, yakni “droits de I’homme” dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia, atau “Human Rights” dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Belanda disebut “mensenrechten”.54 Selain daripada itu, juga digunakan istilah “basic rights” dalam bahasa inggris dan “grondrechten” dalam bahasa Belanda yang memiliki arti sebagai hak-hak dasar. Istilah lain tentang hak asasi manusia juga dikemukan oleh Philipus M. Hadjon yang menggunakan istilah “natural right” dalam bahasa Inggris, dan “recht van den mens” dalam bahasa Belanda, dan dalam bahasa indonesia digunakan istilah hak-hak asasi manusia, hak-hak kodrat, dan hak-hak dasar.55
John Locke sebagaimana dikutip Masyhur Effendi mengemukakan Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan secara langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati (hak dasar), oleh karenanya menurut Locke, tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut dari diri setiap manusia.56 Bagi hidup dan kehidupan manusia, hak ini merupakan hak yang sangat fundamental dan merupakan hak kodrati yang tidak dapat dilepas dari kehidupan manusia. Lebih lanjut, Locke mengatakan bahwa negara menerima kedaulatannya dari rakyat dengan tujuan untuk menjamin agar setiap warga negara tidak dilanggar hak-haknya dan tidak saling melanggar hak satu sama lain di antara warga negara, maka oleh karenanya negara bertugas menyelenggarakan keteraturan dan ketentraman umum.57
Sementara itu, secara yuridis, hak asasi adalah seperangkat yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.58 Untuk itu, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah menjaga eksistensi manusia sebagai bentuk keselamatan bagi manusia secara seimbang, baik dari segi kesimbangan hak dan kewajiban, juga maupun keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum.59
Sehubungan dengan peristilahan dan pengertian yang telah dikemukakan di atas, Bahder Johan Nasution membedakan pengertian antara hak-hak asasi dan hak-hak dasar. Menurutnya perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah bahwa hak-hak asasi menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan secara internasional sedangkan hak-hak dasar diakui melalui hukum nasional.60 Lebih lanjut, Hadjon mengatakan bahwa konotasi hak-hak asasi manusia terkait erat dengan asas-asas idea politis yang kemudian dimuat dalam dokumen politik sehingga sifatnya lebih dinamis dibanding dengan hak-hak dasar yang merupakan bagian dari hukum dasar yang dituangkan dalam dokumen yuridis seperti UUD (konstitusi) dan dalam konvensi Internasional.61
Dengan demikian, mencermati istilah dan perbedaan di atas, pengertian hak asasi manusia kiranya harus dipahami juga sebagai hak dasar. Oleh karena istilah hak dasar maupun hak asasi manusia pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama. Di samping itu pembatasan terhadap hak tersebut juga dilakukan secara yuridis dan moral, artinya hak asasi manusia selain diatur melalui norma-norma hukum juga dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan politik. Kendatipun dalam literatur terdapat perbedaan dalam peristilahan maupun pengertiannya, namun esensi dari pelaksanaan hak asasi manusia dan hak-hak dasar itu adalah sama dan memiliki tujuan yang sama pula.
Berpangkal dari perbedaan itu, pengertian hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah hak untuk kebebasan dan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta tidak dapat dicabut dari seseorang. Sedangkan menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia diartikan sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Pengertian ini mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur utama yang tidak boleh dicabut dari seseorang sebagai individu, yaitu, hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, dan adanya kebebasan. Oleh karena itu, untuk mengakomodir hak asasi setiap individu muncul pengakuan bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dirinya sehingga dalam melaksanakan hukum dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Pemikiran Filosofis dan Teoritis Tentang Hak Asasi Manusia
Secara filosofis, hak asasi manusia berpangkal dari konsep hukum alam tentang hak. Para filosof penganut pemikiran hukum alam mengkaji secara mendalam apa yang dinamakan dengan hak asasi manusia atau hak kodrati. Cicero salah satu filosof hukum alam mengatakan bahwa suatu undang-undang yang benar adalah akal yang murni yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya dan tetap abadi.62 Dalam perkembangannya sampai saat ini, pemikiran atau konsep dari hukum alam tetap mempengaruhi manusia dalam mengembangkan ide dan memberikan kontribusi besar bagi kehidupan. Ide hukum dalam memberikan dasar etika bagi berlakunya hukum positif dan memberi dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dalam kehidupan bernegara. Di samping itu, hukum alam memberikan dasar terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dan memberi ide dasar tentang hakikat hukum dan keadilan.
Menurut pemikiran hukum alam, setiap individu (manusia) merupakan bagian dari alam, oleh karenanya manusia tunduk pada hukum alam, yaitu hukum yang menetapkan apa yang harus dilakukan oleh setiap bagian alam, baik untuk dirinya sendiri maupun dalam hubungan dan keterkaitannya dengan yang lain atau dengan keseluruhan bagian alam. Hal ini memberikan arti bahwa manusia adalah bagian dari alam harus hidup sesuai kodratnya sebagaimana yang digariskan oleh alam. Dengan demikian, hukum alam memiliki korelasi dalam konteks hak asasi manusia, oleh karena dengan memahami hukum alam dapat dipahami pula hakikat dan fungsi hukum alam itu sendiri sehingga dapat dijadikan dasar pembenar atas perlunya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.
Pemikiran terhadap hak asasi manusia, oleh Aristoteles dikatakan kriteria kebaikan negara terletak pada kenyataan apakah negara menguntungkan bagi seluruh masyarakat, sebab negara yang hanya menguntungkan penguasa adalah negara yang jelek. Oleh karenanya, menurutnya agar negara itu mengabdi kepada masyarakat, negara harus diatur sebaik mungkin dengan konstitusi dan undang-undang yang menjamin warga negara bersama-sama mencapai kesejahteraan. Hal yang dimaksudkan Aristoteles hanya dapat tercapai apabila negara melaksanakan ide keadilan. Keadilan akan tercapai apabila ada keteraturan dalam masyarakat, dimana masing-masing dapat menghargai hak-hak orang lain.
Hukum kenegaraan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia senantiasa mengalami pasang surut akibat ambisi kekuasaan oleh para penguasa. Dapat menempati kekuasaan menjadi hal mudah untuk mendapatkan berbagai keinginan manusia, karena kekuasaan bertendensi kepada dominasi tanpa mau diawasi maupun dikontrol, sehingga berpotensi mengalami dekandensi moral sehingga manusia menguasai dan memperalat semuanya demi kepentingan kekuasaan. Walaupun ajaran moral kerap dikumandangkan untuk kesamaan derajat manusia dan kewajiban cinta kasih antar sesama manusia, namun ketimpangan masih senantiasa melanda dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat masing-masing warga mementingkan hak-haknya sampai tidak saling menghormati hak-hak warga lainnya, bahkan justru cenderung semakin memperbesar hak-haknya sendiri, mau tidak mau menguasai dan mengeksploitasi hak-hak orang lain atau bangsa lain.
Dalam melihat situsai yang demikian, Thomas Aquinas menekankan peranan hukum bagi kehidupan bernegara, sebab hanya dalam negara hukum dapat ditegakkan harkat dan martabat manusia dan manusia dapat hidup sesuai dengan kodratnya dalam masyarakat.63 Menurut Aquinas tugas pokok negara melalui aturan hukumnya berusaha menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, aman, dan damai. Ditegaskanya bahwa tujuan negara dibawakan kepada tujuan masing- masing warganya yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebab setiap individu manusia dalam dirinya mempunyai nilai mutlak.64 Oleh karena itu, negara harus selalu bertindak sesuai dengan hukum kodrat manusia, sehingga semua hukum positif buatan negara harus mengkonkritkan hukum kodrat. Sebagai konsekuensinya manakala tindakan negara yang bertentangan dengan hukum kodrat tidak wajib ditaati oleh warga negara, dan apabila penguasa menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya atau melanggar kewajibannya kepada rakyat, maka rakyat berhak menurunkannya dari kekuasaannya. Relevan dengan ini, Jean Bodin menempatkan kekuasaan berada di atas hukum, sehingga kedaulatan adalah norma tertinggi atas warga negara dan tidak terbatas oleh suatu hukum karena kekuasaan itu sendiri merupakan sumber hukum dan konstitusi.65 Bodin mengemukakan bahwa tanpa perlu meminta persetujuan siapapun kedaulatan dapat memberi hukum kepada negara bersama-sama atau masing-masing.
Immanuel Kant berpandangan bahwa semua manusia harus diperlakukan sebagai tujuan-tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat, sebab manusia merupakan pribadi rasional yang mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri, oleh karenanya setiap manusia tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang menurut kehendak perorangan maupun penguasa.66 Pandangan Kant pada hak asasi manusia tersebut sekaligus mengingatkan bahwa apabila seseorang memperalat orang lain, maka tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaannya yang sebenarnya adalah tujuan untuk dirinya sendiri. Karena setiap manusia adalah anggota aktif dalam suatu kehidupan dan semua manusia sama- sama mampu mewujudkan kehendak yang baik.
Secara teoritis, pengertian konsep hak asasi manusia dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya melampaui beberapa fase perkembangan. Pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia pertama era enlightenment di Eropa seperti di Inggris dengan Magna Charta dan bill of Right, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens yang seluruhnya ditingkatkan menjadi dokumen-dokumen hukum internasional. Dalam fase ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.67
Pada fase selanjutnya ialah International Covenant on Civil and Political Rights, di mana pada fase ini konsepsi hak asasi manusia meliputi upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak menikmati ragam penemuan ilmiah, dan lain sebagainya.68 Puncaknya perkembangan pada fase ini dengan tercapainya penandatanagan Internatonal Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. Kemudian pada tahun 1986 muncul konsepsi hak asasi manusia yang mencakup hak untuk pembangunan atau rights to development.
Konsepsi hak asasi manusia pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak- hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hal demikian dapat dilihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Kewajiban negara itu juga ditegaskan dalam hukum nasional, terutama dalam konstitusi Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.
3. Pandangan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia
Sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia secara kodrati dianugerahkan hak dasar yang disebut sebagai hak asasi manusia. Hak 68 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hlm. 166 asasi manusia itu tidak dapat dibeda-bedakan mauapun dicabut oleh siapa pun. Dengan hak asasi itu pula manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Baik sebagai pribadi, maupun sebagai warga negara, manusia dalam mengembangkan dirinya ditentukan oleh pandangan hidup dan keperibadian bangsa. Pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai mahkluk pribadi dan juga mahkluk sosial, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bangsa Indonesia menghormati setiap upaya suatu bangsa untuk menjabarkan dan mengatur hak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai dan pandangan hidup masing-masing. Menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan menjadikan bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi dan menerapkan hak asasi manusia. Berbagai penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial yang dicatat dalam sejarah dunia, terjadi akibat perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, atau bahkan karena budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan merupakan keinginan mendalam umat manusia, maka hal-hal yang menimbulkan penderitaaan, kesengsaraan, dan kesenjangan serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia harus ditanggulangi oleh setiap bangsa. Bangsa Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarahnya mengalami penderitaan dan kesengsaraan selama masa penjajahan. Oleh karena itu, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bangsa Indonesia bertekad untuk ikut melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan sosial yang pada hakikatnya merupakan kewajiban setiap bangsa, sehingga bangsa Indonesia berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak terpisahkan dengan kewajibannya. Sejalan dengan keinginan bangsa Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia sebagaimana mestinya, maka pada sidang MPRS Tahun 1966 telah ditetapkan TAP MPRS No.XIV/MPRS/1966 tentang pembentukan panitia ad hoc untuk menyiapkan dokumen Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak- Hak serta kewajiban warga negara. Akan tetapi pada sidang umum MPRS Tahun 1968, rancangan piagam tersebut tidak dibahas karena lebih mengutamakan membahas masalah-masalah mendesak yang berkaitan dengan adanya pemberontakan partai komunis (G-30S PKI 1965) untuk menata kembali kehidupan nasional.
Namun demikian, jika kita melihat dan mencermati isi naskah ketiga hukum dasar atau konstitusi bangsa Indonesia, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950, sejatinya telah tegas bahwa bangsa Indonesia sejak semula menyetujui aspek universal hak asasi manusia, akan tetapi dalam praktik baik itu masa orde lama, orde baru hingga saat ini tampak dengan jelas bahwa hak asasi manusia tidak pernah dipandang sebagai sesuatu hak yang bersifat universal. Tegasnya, terdapat pengakuan secara universal atas hak asasi manusia, namun bila sampai pada tahap penerapannya mengakibatkan tidak terelakkan bahwa hak asasi manusia harus dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga membuat hak asasi manusia terpola pada suatu keadaan yakni karena kepentingan nasional, walaupun hal demikian telah meluputkan dan menganiaya sifat universal hak-hak asasi manusia.
Bangsa Indonesia memandang hak asasi manusia sebagai hak seluruh individu (manusia) tanpa pembedaan satu sama lainnya dan bahkan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Hal ini mengingat hak asasi itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat secara kodrati pada diri setiap individu, bersifat abadi serta berkaitan dengan harkat dan martabat manusia untuk senantiasa diakui dan dihormati tanpa membedakan warna kulit, agama, usia, perbedaan politik, dan lain sebagainya. Bangsa Indonesia menyadari dan mengakui bahwa setiap individu adalah bagian dari tatanan masyarakat, sebaliknya masyarakat itu pula terdiri dari individu-individu yang mempunyai hak dasar untuk hidup dalam lingkungan, dan individu tersebut juga wajib untuk menghormati hak asasi sesama individu.
Dalam piagam Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa manusia adalah mahkluk pilihan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pengelola dan pemelihara alam di bumi untuk kesejahteraan umat manusia, yang pelaksanaan tugasnya dengan penuh ketaqwaan dan tanggung jawab untuk menjamin keberadaan, harkat, martabat dan kemuliaan dirinya serta kehormatan lingkungannya.69 Piagam Hak Asasi Manusia tersebut ditetapkan dengan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998, yang memuat berbagai hak asasi manusia di Indonesia, antara lain :
Perumusan substansi hak asasi manusia di Indonesia menggunakan pendekatan normatif, empirik, deskriptif, dan analitik. Sebagaimana hak asasi manusia adalah merupkan hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan mayarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh siapa pun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menyadari bahwa setiap individu adalah bagian dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat terdiri dari individu-individu yang mempunyai hak asasi serta hidup di dalam lingkungan yang merupakan sumber daya bagi kehidupannya. Oleh karena itu setiap individu di samping mempunyai hak asasi, juga mengemban kewajiban asasi dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi individu lain, tata tertib masyarakat serta kelestarian fungsi, perbaikan tatanan dan peningkatan mutu lingkungan hidup.
Dengan demikian, jelas bahwa bangsa Indonesia mengakui hak asasi manusia adalah pemberian Tuhan Yang Maha Esa, negara Indonesia mengakui bahwa sumber hak asasi manusia adalah karunia Tuhan. Tegasnya hak asasi manusia bukan pemberian negara akan tetapi pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Negara hanya menetapkan undang- undang yang mengikat warganya untuk melindungi hak asasi dari tindakan sewenang-wenang, dan eksistensi hak asasi manusia mendapat pengakuan secara moral dan hukum. Oleh karena itu, pandangan bangsa Indonesia terhadap sumber hak asasi manusia adalah bersumber dari Tuhan bukan pemberian negara.
4. Substansi dan Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia
Substansi utama hak asasi manusia ialah kemerdekaan dan hak atas privasi. Kebebasan individu yang merdeka merupakan hak asasi dalam menentukan pilihannya. Secara filosofis hakikat kebebasan manusia, terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri yang bersifat eksistensial karena merupakan sesuatu yang menyatu dengan manusia.70 Bahder Johan Nasution mengartikan kebebasan adalah suatu kemampuan manusia khususnya kemampuan untuk memberi arti dan arah hidupnya, serta kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang ditawarkan pada manusia oleh kehidupan.71
Dalam konteks yang lebih spesifik, kebebasan sebagai substansi hak asasi manusia adalah kebebasan itu merupakan sisi yang sangat penting bagi hukum pada umumnya dan bagi hak-hak asasi manusia pada khususnya. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat luput dari manusia pribadi, karena tanpa kebebasan itu, harkat dan martabatnya akan hilang sebagai manusia. Sementara itu, kebebasan yang bersifat hak asasi, terdapat pula paham kebebasan yang bersifat hukum positif, atau hak-hak kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan kebebasan-kebebasan politik. Dalam hubungannya dengan hak asasi ini, masyarakat dalam suatu negara tidak akan mencapai tujuannnya untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, tanpa adanya keteraturan dan organisasi, tanpa wewenang dan wibawa perundang-undangan dengan sanksi yang tegas untuk membatasi kebebasan bertindak dan bergerak, sejauh kebebasan tersebut tampil keluar dalam tindakan- tindakan lahiriah.
Menurut Adorno, tanpa suatu pemikiran tentang kebebasan, secara teoritis sulit memperoleh alasan untuk mengorganisasikan kehidupan masyarakat, namun pengorganisasi masyarakat pada gilirannya akan mengurangi kebebasan itu sendiri.72 Kebebasan dan ketidakbebasan merupakan realitas kehidupan yang senantiasa membayangi. Persoalannya ialah bila kebebasan itu disadari dan dihayati sebagai kodrat sekaligus kenyataan objektif, kebutuhan, keinginan dan harapan, sebagai suatu yang patut diperjuangkan, maka yang diperlukan di sini ialah meminimalisir pengekangan terhadap suatu kebebasan dan memaksimalkan suasan kehidupan yang ideal sebagai ruang untuk hidup lebih baik yakni kebebasan. Jika dipandang dari sudut kepentingan pengaturan kebebasan masyarakat, pengaturan melalui undang-undang, dalam hal ini pada hakikatnya berfungsi mengarahkan atau mengendalikan. Oleh karenanya bukan suatu hambatan bagi kebebasan, yang terpenting pelaksanaannya tidak mempersulit dan tidak melanggar prinsip dasar negara hukum. Hal ini dapat dipahami bahwa setiap undang-undang pada dasarnya membatasi kebebasan individu untuk mengatur dan mengendalikan penggunaan kebebasan tersebut.
Dengan adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang maka dapat mencegah terjadinya hal-hal yang bersifat penekanan dan pembelengguan kebebasan masyarakat. Perlunya pengaturan ini didasarkan pada kecenderungan sifat buruk manusia yang suka iri hati, cinta akan kekuasaan dan suka mencampuri urusan orang lain. Hukum penting sebagai kekuatan komunitas untuk mencegah terjainya tindakan- tindakan yang mengarah kepada pengurangan kebebasan.73 Pengaturan tersebut bukan sekedar persoalan moral dan etika, tetapi sudah menjadi persoalan hukum dan persoalan sistem, yaitu bagaimana pola pengaturan hidup bersama yang berlaku dalam suatu negara.74 Masalahnya terkadang bahkan sering para aparatur penegak hukum selaku pelaksana undang- undang tidak menjalankan undang-undang itu menurut bunyinya.
Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan, untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalankan kehidupan. Dengan akal budi dan nurani tadi, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya. Arti yang paling mendasar dari kebebasan yang dirasakan oleh manusia ialah manusia itu makhluk yang bebas menentukan dirinya sendiri, akan tetapi penting untuk disadari bahwa kebebasan setiap menusia bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana. Sebagai sarana, tidak lain ialah untuk melepaskan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi individu mewujudkan diri sepenuhnya untuk melepaskan diri dari segala ketergantungan.
Secara teoritis pengakuan masyarakat atas pembatasan kebebasannya melalui undang-undang, didasarkan pada kesadaran bahwa hukum mempunyai sifat mengatur, untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik, sehingga undang-undang menjadi suatu yang penting untuk mengatur kebebasan tersebut. Hal ini didasari tiga ciri pokok, yakni pertama, manusia sebagai mahkluk yang berakal budi; kedua, manusia memiliki jasmani; dan ketiga, manusia merupakan mahkluk sosial.75 Sebagai mahkluk berakal budi kelakuan manusia harus diatur secara normatif, bukan secara intuisi, sehigga dalam bertingkah laku manusia menggunakan kebebasannya harus menurut norma-norma yang ditetapkan bukan menurut kemauannya. Begitu pula dengan sifat kejasmaniannya, manusia membawa akibat pada segala kebutuhan hidupnya dan dapat ditindas karena kejasmaniannya. Sedangkan sebagai mahkluk sosial ia hanya dapat hidup dalam kebersamaannya dengan orang lain.
Dalam pengertian sederhana, persoalan mengenai kebebasan sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia, misalnya bebas dari ketakutan, bebas dari tekanan, dan bebas dari tindakan sewenang-wenang. Secara filosofi dalam UUD 1945 menyiratkan mengenai kebebasan, yakni segala tindakan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan harus dihapuskan. Oleh karenanya, “bebas” diartikan manusia bebas menentukan nasibnya sendiri atau bebas dari tekanan untuk tunduk kemauan pihak lain. Secara alamiah manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lainnya serta mempunyai kehormatan dan hak yang sama pula, maka hak alamiah yang menjadi miliknya itu harus dibatasi. Batasannya adalah hak dan kebebasan orang lain sehingga pada setiap hak yang timbul selalu muncul kewajiban untuk menghormatinya secar timbal balik. Dengan demikian pembatasan-pembatasan tersebut bukanlah dimaksudkan dengan tujuan membatasi atau mengurangi hak tersebut, tetapi justru untuk meneguhkan eksistensi hak individu itu sendiri.
Sebagi penghormatan terhadap hak asasi manusia, maka hak tersebut ditempatkan sebagai objek keadilan sehingga hak asasi menjadi suatu tan kehormatan. Orang yang tidak memiliki kehormatan seperti seorang budak maka ia tidak memiliki hak. Oleh karenanya, hak yang merupakan bagian dari suatu keadilan tumbuh dari konsep penghormatan kepada hak asasi manusia. Penghormatan itu merupakan sesuatu yang melekat dengan hakikat diri dan pada akhirnya sesuatu yang berkesinambungan dengan tujuan dari pada hak asasi manusia, yaitu abadi, secarah sah dipertahankan menajdi miliknya. Hal tersebut dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidup setiap individu.
Berpangkal pada prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia, hakikat keberadaan dan dasar hak asasi manusia semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri, artinya manusia atau setiap individu dapat menikmati hak asasinya sekaligus menghormati martabat kemanusiaannya. Untuk dapat mewujudkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka nilai-nilai asasi yang dimiliki oleh suatu bangsa harus dipakai sebagai landasan utama dalam setiap kebijakan dan pembentukan hukum, Hal ini sesuai dengan pemikiran Del Vaschio bahwa manusia adalah “Ius juridicus” atau manusia hukum, karena hukum dan manusia selalu bersatu dan tidak dapat dipisahkan, oleh karenanya dalam setiap pembentukan hukum segi perlindungan hak asasi manusia menjadi salah bahan pemikiran.76
Penghormatan hak asasi manusia merupakan upaya untuk menerobos seluruh hambatan dan tantangan tentang permasalahan- permasalahn hak asasi manusia. Persoalan hak asasi yang dimaksud ialah menyangkut hak-hak khusus yang terdapat dalam berbagai sarana hak asasi manusia. Hak asasi manusia berkorelasi dalam hubungan antara warga negara dengan negara, yaitu menyangkut kewajiban negara untuk melindungi dan menegakkan hak-hak dasar khusus dari warga negara, sesuai dengan yang ditentukan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia, seperti yang diakui dalam konstitusi negara, mengenai hak untuk hidup, hak memeluk kepercayaan agama, hak untuk berkumpul dalam perserikatan yang tujuannya tidak merugikan orang lain, hak atas milik pribadi, hak menuntut keadilan secara hukum, dan hak atas proses keadilan yang benar.
5. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional
Pada hakikatnya hukum dibuat bertujuan untuk membatasi kekuasaan dalam negara. Karekteristik pemerintahan konstitusional ialah adanya gagasan mengenai pemerintahan yang terbatas, dalam arti tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Pembatasan terhadap kekuasaan negara tercantum secara tegas dalam konstitusi, sehingga umumnya disbut pemerintahan berdasarkan konstitusi. Gagasan kontitusional dikemukan oleh John Locke yang merupakan pengembangan dari gagasan hukum alam yang diajukan oleh Thomas Aquinas, yang menghendaki legitimasi kekuasaan negara pada kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntatan normatif.77 Oleh karenanya, Locke berpendapat bahwa hukum kodrat harus menjadi dasar kekuasaan, bukan sebaliknya kekuasaan yang menjadi dasar hukum.78
Dalam konteks pengaturan hak asasi manusia, satu sisi hak asasi manusia memiliki sifat dasar yang membatasi kekuasaan pemerintahan, namun sebaliknya pada sisi lain negara diberi wewenang untuk mengatur hak-hak dasar sebagimana dengan fungsi pengendaliannya. Dengan demikian, meskipun hak-hak dasar mengandung sifat membatasi kekuasaan pemerintahan, pembatasan tersebut tidak berarti menstatiskan kekuasaan negara yang pada dasarnya berisi wewenang untuk mengatur tata pergaulan masyarakat. UUD 1945 telah menjamin hak asasi manusia. Keterikatan bangsa Indonesia terhadap isu-isu hak asasi manusia dapat dilihat dalam pengaturan hak-hak dasar yang dimuat dalm konstitusi. Pengaturan tersebut bukan hanya memuat hak-hak di bidang sosial, ekonomi, dan budaya, melainkan juga memuat mengenai hak-hak hukum dan politik.
Bagi bangsa Indonesia setalah dilakukan beberapa kali amandemen terhadap UUD 1945 baru kemudian rumusan-rumusan hak asasi dimuat lebih lengkap dalam bab-bab tersendiri. Bertolak pada pemikiran bahwa belum seluruhnya hak-hak yang dilindungi dalam deklarasi hak-hak asasi manusia sedunia, telah tercantum atau dapat ditafsirkan menurut ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945, bangsa Indonesia melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 melengkapi kekurangan tersebut dengan Piagam Hak Asasi Manusia yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemikiran yang mendasari dikeluarkannya undang-undang ini, adalah :79
Pengaturan hak asasi dilakukan melalui instrumen hukum dan pengaturan tersebut harus memenuhi asas legalitas, yang berarti tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sehingga dengan asas legalitas tersebut negara menghendaki pemerintah tidak menyalahgunakan wewenangnya, tidak sewenang-wenang dan tidak melaggar ketentuan- ketentuan perundang-undangan. Berpangkal dari asas itu, membatasi kekuasaan pemerintah, membawa konsekuensi bahwa hukum harus dibentuk dalam bentuk undang-undang oleh pembentuk undang-undang. Pembentukan perundang-undangan ini bertujuan selain untuk mebatasi kekuasaan pemerintah, juga dimaksudkan untuk melindungi hak-hak dasar manusia.
Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan hukum, hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mmpertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, Negara atau pemerintah dalam menyelenggarakan fungsinya, harus tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia sebagi salah satu hak dasar warga negara.
C. Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Ringan
Menurut A. Ubadillah dkk dalam bukunya “Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani” pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu maupun institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.80 Dan pada prinsipnnya pelanggaran hak asasi manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama, pelanggaran hak asasi manusia biasa, kedua, pelanggaran hak asasi manusia berat.
Jack Donnely81 mengungkapkan hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnta sebagai manusia. Demikian pula halnya pendapat yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie82 sebagai berikut :
Hak asasi manusia berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. Hak asasi manusia ada bukan disebabkan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara melainkan atas dasar martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas keberadaan manusia merupakan makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, patut memperoleh apresiasi secara positif.
Cakupan pengertian hak asasi manusia berkembang pada suatu kesadaran, bahwa hak atas kebebasan tidak mungkin dinikmati oleh semua orang tanpa adanya kesamaan minimal dalam masyarakat,83 artinya pada waktu menggunakan hak kebebasan yang dimiliki harus disadari akan adanya kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Sebab pengertian ‘hak’ dalam hak asasi manusia adalah suatu lingkungan keadaan atau daerah kebebasan bertindak di mana pemerintah tidak mengadakan pembatasannya, sehingga membiarkan individu atau perseorangan untuk memilih sendiri menggunakannya atau tidak.
Oleh karena itu, hak mengandung arti membatasi kekuatan berdaulat dari pemerintah. Hak bukanlah kebebasan absolut, tetapi ada pembatasannya yakni undang-undang. Dengan itu, pada saat akan menggunakan hak-hak, maka pada saat yang sama juga diperhatikan apa kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang. Di sini fungsi undang- undang adalah di satu sisi melindungi hak asasi manusia dan di lain sisi membatasi hak asasi manusia.84
Menurut Muhammad Alim,85 untuk melindungi hak asasi manusia (HAM), negara harus dibangun di atas prinsip negara hukum agar ada instrument yang mengawasi dan mengadili jika terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia dan untuk meletakkan rakyat sebagai penentu dalam kehidupan bernegara. Sistem politik yang dibangun adalah sistem yang demokratis, seperti hak untuk memilih, hak untuk dipilih, dan hak memberikan pendapat.
Adapun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) diartikan sebagai berikut :
Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.86
Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa segala perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparatur negara, baik disengaja maupun tidak sengaja, yang secara melawan hukum berakibat atau bertujuan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan demikian, maka apabila ada aparatur penegak hukum yang dalam melaksanakan hukum tersebut bertentangan dengan undang- undang maka perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Misalnya melakukan kekeliruan (kesengajaan/kelalaian) menafsir suatu pasal terkait penahanan yang diatur dalam KUHAP. Dengan demikian, perbuatan aparat penegak hukum semacam ini dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa yang tidak sesuai dengan bunyi Pasal 21 ayat (1) KUHAP merupakan perampasan kemerdekaan seseorang dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Namun terdapat pula beberapa perampasan hak kemerdekaan manusia yang bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya :
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Pelanggaran hak asasi manusia berat adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
Yang dimaksud dengan ‘penyiksaan’ adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental kepada seseorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan. Dengan demikian, penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa yang kooperatif, memiliki tempat tinggal yang tetap, bersedia memberikan jaminan orang atau jaminan uang atau penahanan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam bentuk penyiksaan.
Kendatipun perbedaan pelanggaran hak asasi manusia yang dikualifikasikan biasa (ringan) dengan pelanggaran hak asasi manusia berat tidak terlihat secara tegas, namun perbedaan itu dapat disimpulkan terletak pada begaimana perbuatan itu dilakukan, yakni disengaja atau karena kelalaian. Perampasan kemerdekaan dan ‘penyiksaan’ secara melawan hukum yang terjadi karena kalalaian termasuk pelanggaran hak asasi manusia biasa, sedangkan perampasan kemerdekaan dan ‘penyiksaan’ secara melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
D. Kemerdekaan Individu dan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa
1. Pengertian Status Tersangka Atau Terdakwa
Pengertian tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdsarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.88 Sementara Terdakwa diartikan seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.89 Merujuk dan menelaah pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan status tersangka dan/atau terdakwa adalah belum dapat dipastikan sebagai pelaku kejahatan, tegasnya, penetapan status itu lebih bersifat ‘dugaan’.
Sehubungan dengan hal itu pula, Inbau dan Reid, mengemukakan bahwa tersangka dapat diklasifikasikan, sebagai berikut :90
Tata cara penentuan status tersangka terhadap seseorang, di awali oleh pemeriksaan penyelidikan oleh tim penyelidik, kemudian dalam gelar perkara diputuskan bahwa benar atau tidak benar telah terjadi peristiwa tindak pidana. Apabila dalam rapat gelar perkara memutuskan “benar” telah terjadi peristiwa tindak pidana, maka laporan tentang kasus yang diselidiki wajib ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Pada tahap penyidikan penyidik berusaha mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang primer atau bukti yang menentukan. Setelah penyidik mendapatkan bukti primer, penyidik menetapkan seseorang terlapor menjadi tersangka, yang berarti bahwa berdasarkan bukti primer yang telah diperoleh maka seseorang itu (terlapor) sudah patut disangka sebagai pelaku tindak pidana dan patut untuk diajukan kepada jaksa penuntut umum guna penuntutan di pengadilan.
Artinya bahwa berdsarkan bukti primer itu atau bukti yang cukup tersebut, penyidik berkeyakinan bahwa seseorang itu (terlapor) kemungkinan besar adalah pelaku kejahatan itu, maka status terlapor terhadap seseorang itu rubah menjadi status tersangka pelaku tindak pidana yang sedang berjalan (diproses), untuk selanjutnya diajukan kepada jaksa penuntut guna melakukan penuntutan di sidang pengadilan.
Sementara terdakwa adalah seseorang yang diduga keras melalukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Sebagaimana dalam pengertiannya, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang persidangan. Karena itu, manusia yang berstatus tersangka atau berstatus terdakwa tidak boleh dirampas hak kemerdekaannya dan tidak boleh dipidana dengan sebutan “ditahan/tahanan” kecuali yang bersangkutan terbukti atau ter-identifikasi nyata akan mempersulit proses pemeriksaan perkara pidana yang sedang berjalan.
2. Konsep Kemerdekaan Individu
Memberikan hak-hak yang pantas kepada tersangka dan/atau terdakwa pidana merupakan perlindungan terhadap harkat manusia, sehingga jaminan pemerintah terhadap pelaksanaan hak tersangka dan/atau terdakwa sudah masuk ke wilayah peradaban umat manusia. Dalam hal ini, hukum dalam dunia yang beradab yaitu hukum yang antara lain melindungi hak-hak tersangka secara maksimal, di antaranya adalah proses hukum yang adil.
Di samping itu, kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Adapun kemerdekaan individu atau kebebasan adalah hak setiap orang, yang telah dibawa sejak lahir. Namun demikian, teramat sering konsep kemerdekaan individu diletakkan berhadap-hadapan dengan konsep hukum pidana. Konsep kemerdekaan individu itu juga disebut sebagai “kebebasan” (freedom).
Menurut Munir Fuadi dan Sylvia Laura L. Fuady dalam bukunya “Hak Asasi Tersangka Pidana” yang dimaksud dengan Konsep kemerdekaan individu itu juga disebut sebagai “kebebasan” (freedom) adalah sebagai berikut :
Suatu kekuasaan dan kesempatan yang mesti diberikan oleh negara dan hukum kepada rakyatnya untuk menjalankan dan menikmati hak-hak yang melekat padanya, baik hak-hak yang disebut dalam undang-undang maupun hak-hak yang telah diakui secara universal, terbebas dari segala jenis batasan, kecuali hanya pembatasan bahwa penggunaan hak tersebut tidak boleh melanggar kemerdekaan atau kebebasan orang lain.91
Di antara hak-hak yang diberikan kepada manusia berdasarkan prinsip pengakuan terhadap kemerdekaan dan kebebasan tersebut, terdapat beberapa hak yang berkenaan dengan orang yang tersangkut kasus hukum, dalam kedudukannya selaku saksi, terperiksa, tersidik, tersangka, terdakwa, terpidana. Misalnya, hak tersangka untuk diberlakukan asas praduga tidak bersalah, dan masih banyak lagi, seperti hak untuk dipercaya, haka untuk tidak ditahan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Tujuan diberikan dan dijamin hak bagi tersangka dan atau terdakwa tersebut adalah agar terdapat perlakuan yang adil baginya, sehingga terhindar dari perlakuan yang sewenang-wenang, karena bagaimanapun hukum haruslah diberlakukan sama kepada siapa pun, termasuk adil bagi tersangka dan/atau terdakwa. Selanjutnya, ternyata dalam sejarah konsep pemberian kemerdekaan individu kepada manusia sudah sangat lama dikenal dalam sejarah hukum, seperti di Inggris dikenal dengan Magna Charta tahun 1215. Dengan konsep kemerdekaan individu ini, seyogianya perbudakan misalnya tidak boleh ada di permukaan bumi ini, karena perbudakan jelas bertentangan dengan prinsip kemerdekaan individu tersebut.
Di samping itu, konsepsi non-diskriminasi merupakan konsep kesamaan perlakuan yang umum di antara warga negara tanpa membeda- bedakan suku, ras, keturunan, gender, agama, dan hal-hal yang tidak rasional lainnya. Adapun dengan konsep kesamaan perlakuan dan kesamaan kedudukan dalam hukum, lebih ditujukan kepada kesamaaan perlakuan dan kedudukan di antara masing-masing warga negara. Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang sama serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Bagi tersangka dan/atau terdakwa juga mempunyai hak agar proses peradilan dapat dilakukan secara benar dan fair. Sebab, dengan proses peradilan yang tidak benar atau tidak fair mengakibatkan penyelesaiannya dilakukan dengan melanggar hak asasi manusia tersangka dan/atau terdakwa. Karena itu, untuk menghindari proses peradilan yang demikian, maka langkah yang ditempuh adalah memastikan proses penahanan, pemeriksaan, penyidikan, penuntutanm bahkan sampai proses pengadilan tidak melanggar hak asasi manusia.
3. Hak Tersangka atau Terdakwa Atas Prinsip Praduga Tidak Bersalah
Istilah “presumption of innocence” atau biasa disebut asas praduga tidak bersalah, adalah istilah sudah sangat populer di seluruh sistem hukum di dunia. Istilah ini berawal dari adagium bahasa latin yang mengatakan “ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat” yang berarti beban pembuktian ada di pihak yang menyatakan sesuatu, bukan di pihak yang membantahnya.92 Maksud daripada adagium ini bahwa sebelum dapat dibuktikan apa yang dinyatakan atau dipersangkakan kepadanya, maka tersangka tidak dapat dianggap bersalah. Dari ungkapan adagium inilah muncul istilah praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yang berarti seseorang tidak dapat dianggap bersalah atau diberlakukan sebagai pihak yang bersalah sebelum terbukti di pengadilan tingkat terakhir yang sudah berkekuatan hukum tetap secara meyakinkan tanpa keraguan yang patut yang membuktikan bahwa tersangka tersebut memang terbukti bersalah secara hukum.93
Selain dari adagium ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat, praduga tidak bersalah juga memiliki relevansi dengan ungkapan Blackstone sebagaimana yang dikutip Munir Fuady dan Sylvia Laura, yaitu lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.94 Jadi prinsip praduga tidak bersalah menghendaki adanya proses hukum yang benar (due process), dan hal ini menjadi syarat mutlak bagi negara demokrasi, karena hampir seluruh negara demokrasi di dunia tidak menerima prinsip praduga bersalah dalam hukum pidana, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Dalam konsep prinsip praduga tidak bersalah, meskipun kekuatan berlakunya asas praduga tidak bersalah terbilang kuat, tetapi bukanlah merupakan konsep yang mutlak. Maksudnya adalah bahwa konsep praduga tidak bersalah ini berlaku dengan batasan-batasan tertentu, yaitu:95
Pengakuan terhadap doktrin praduga tidak bersalah ini mendapat kedudukan yang sangat elementer dalam suatu sistem hukum pidana yang adil (criminal justice system), disebabkan oleh beberapa alasan rasional, sebagi berikut :96
Di samping itu, prinsip praduga tidak bersalah mempunyai beberapa konotasi hukum multi aspek. Dengan konotasi hukum yang multi aspek ini, prinsip praduga tidak bersalah ditafsirkan sangat luas, sehingga berlaku di berbagai aspek. Selain berlaku dalam aspek pembebanan pembuktian, juga berlaku di luar hukum pembuktian. Dengan karekteristik yang multi aspek ini, maka prinsip praduga tidak bersalah membawa konsekuensi-konsekuensi hukum, antara lain :97
Dengan demikian, prinsip praduga tidak bersalah merupakan prinsip yang sangat mendasar dan tidak terbantahkan dalam setiap sistem hukum. Karena prinsip ini mengajarkan bahwa seseorang yang dipersangkakan pidana berhak untuk diasumsikan secara hukum sebagai orang tidak bersalah atau melanggar hukum, sampai benar-benar dibuktikan oleh negara dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum.
Dalam hal ini, negara harus membuktikan bahwa tersangka memang telah bersalah melanggar hukum, tanpa perlu dibantu pembuktiannya oleh tersangka, dan yang harus dibuktikan tersebut adalah seluruh unsur dari perbuatan pidana yang dipersangkakan. Bahkan konsekuensi hukum atas berlakunya prinsip praduga bersalah ini membuat tersangka mempunyai hak untuk tidak diperlakukan semena-mena, hak untuk didampingi pembela, hak untuk tidak dirampas kemerdekaannya, hak diproses secara layak, hak atas proses pemeriksaan yang cepat, dan hak- hak hukum tersangka lainnya.
E. Gambaran Umum Tentang Istilah Malpraktik
Menyinggung istilah “malpraktik” seakan mengingat pada salah satu teori kebohongan yang digagas oleh Joseph Goebbels yang sangat popular yaitu “kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-oleh) kenyataan”. Sedangkan kebohongan yang sempurna adalah memelintir pemaknaan undang-undang sedikit saja.98
Kenyataan dalam kehidupan saat ini, adalah masalah hak asasi manusia yang muncul bukan lagi tentang perumusan/pengaturan hak dan kewajiban hak asasi manusia, tetpi benar atau salah pelaksanaan peraturan perundang- undangan yang berlaku oleh apartaur pemerintah, termasuk aparatur penegak hukum. Pelaksanaan undang-undang secara benar adalah wujud dari penegakan hak asasi manusia, tetapi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan adalah perbuatan melawan hukum dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan dapat dikategorikan sebagai tindakan “malpraktik”.
Manurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “Malpraktik” adalah menyalahi undang-undang atau kode etik.99 Dalam konteks hukum, istilah malpraktik adalah suatu jenis kelalaian dari standar professional yang berlaku umum, dan pelanggaran atas tugas yang menyebabkan seseorang menderita kerugian.100
Secara harfiah, istilah malpraktik terdiri dari dua suku kata, yakni ‘mal’ yang berarti salah, dan ‘praktik’ yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga apabila kedua kata tersebut digabung menjadi ‘malpraktik’ dan bermakna pelaksanaan atau tindakan yang salah (professional misconduct).101
Istilah yang berkembang mengenai malpraktik dewasa ini cukup beragam, banyak pihak-pihak yang mencoba memberi padanan atau menterjemahkan dari kata asalnya yaitu malpractice ke dalam bahasa Indonesia, antara lain, dapat disebutkan di sini adalah malpraktek, malpraktik, dan malpraktis.102
Menurut Kartono Mohammad, istilah malpraktik adalah suatu istilah hukum, suatu istilah yang sering disamakan dengan kelalaian tindakan dokter (medical Negligence).103 Selanjutnya yang juga dapat dipergunakan sebagai petunjuk adalah pengertian yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa “istilah malpractice berarti kekeliruan professional yang mencakup ketidakmampuan melakukan kewajiban professional, atau lalai melakukan kewajiban profesional”.104
Dalam kehidupan sehari-hari isu tentang malpraktik umumnya dikenal masih terbatas pada bidang kesehatan, perbankan, pengacara, akuntan public, dan wartawan.105 Hal itu disebabkan karena profesi tersebut ramai dibicarakan masyarakat baik di dalam maupun di luar pengadilan bahkan tidak sedikit di antaranya yang dipidana karena terbukti menyalahi undang- undang yang mengatur tata cara standart operating procedure (SOP) pelaksanaan hak dan kewajiban mereka sesuai profesinya masing-masing.
Dengan demikian, maka dapat dipahami dan diketahui, bahwa yang dimaksud dengan istilah malpraktik adalah :106